Selasa, 23 Desember 2008

CINTA




Seorang teman pernah bertanya kepada saya, ‘Apa sih sebenarnya cinta itu?’ sebuah pertanyaan yang terdengar biasa, tetapi ternyata sulit juga untuk menjawabnya.

Ada banyak pendapat tentang cinta yang pernah saya baca, dan kalau boleh saya ingin merangkumnya dengan bahasa saya sendiri. Menurut saya cinta adalah suatu rasa yang indah, yang lahir dan tumbuh di hati kita. Suatu perasaan yang menumbuhkan keinginan untuk memberi, untuk selalu bersama, untuk menjaga, dan terkadang keinginan untuk memiliki.

Ada berbagai macam bentuk cinta,seperti cinta kepada Sang Pencipta, merupakan cinta yang paling agung derajatnya, yang sudah seharusnya ada di hati setiap manusia, sebagai ucap syukur terhadap semua pemberianNya.

Cinta kepada orang tua yang telah melahirkan dan mengantar kita menjadi dewasa, cinta kepada anak-anak yang telah kita lahirkan, cinta kepada kekasih ,suami atau isteri, cinta kepada saudara atau kepada guru-guru kita, merupakan berbagai bentuk cinta diantara sesama manusia.

Ada lagi yang disebut sebagai cinta tanah air, yang merupakan cerminan sikap patriotisme yang ditumbuhkan dalam jiwa setiap anak bangsa, dan berbagai bentuk cinta lainnya.

Dari semua itu, cinta terhadap kekasih, suami–isteri, merupakan bentuk cinta yang cukup menarik untuk dibicarakan. Cinta diantara dua jenis manusia ini, terkadang seperti mata pisau yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Satu sisi dapat membawa kebahagian yang sempurna, tetapi di sisi lain, jika tidak berhati hati dapat pula menghancurkan. Antara kasih yang meluap luap dan kebencian, atau antara keikhlasan untuk menyerahkan diri lahir–batin dan nafsu birahi. Memang cinta dalam kelompok ini cukup rumit. Kita tidak boleh semata mata menggunakan rasa dan emosi dalam menyikapinya. Kita juga tidak bisa hanya menggunakan logika atau akal. Tetapi kita harus memadukan keduanya, jika kita tidak ingin mengalami kehancuran di belakang hari.

Cinta antara suami isteri, tak memerlukan lagi janji yang muluk muluk. Dan mungkin tak perlu lagi rangkain bunga untuk mengekspresikannya. Cukup bahu untuk bersandar atau pelukan hangat dikala kelelahan datang menyapa. Sedikit kecupan dan kata I love You yang dibisikkan, mungkin dapat menjadi oase di tengah padang tandus.

Keikhlasan untuk memberi tanpa minta kembali, keikhlasan untuk tetap tersenyum dan mendoakan ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan dan menempatkan kebahagiaan pasangan kita di atas kebahagiaan kita sendiri, mungkin itu merupakan bukti cinta sejati.

Jumat, 12 Desember 2008

LAUTAN BERKAH PERKAWINAN

Hidup terkadang sulit, keberuntungan dan kebahagiaan tak selalu berpihak pada kita. Bermacam cobaan kerap menghadang di depan mata, maka dibutuhkan kebijakan untuk menyikapinya. Misalnya kehidupan perkawinan.

Menjalani suatu perkawinan, terkadang seperti bermain judi, kita bisa mendapat kebahagiaan besar, tapi sebaliknya bisa juga hancur berkeping-keping.
Suatu perkawinan yang diharapkan bisa membawa seseorang pada kehidupan yang lebih baik, ternyata dapat pula menjadi lubang yang menjerumuskan.

Tapi semua itu bukan berarti perkawinan adalah sesuatu yang menakutkan.
Perkawinan adalah suatu hal yang disakralkan, dan sudah seharusnya penuh dengan keberkatan.

Suatu perkawinan yang ditegakkan oleh dua orang yang berkomitmen untuk saling mengasihi, untuk saling berbagi, dan saling bergenggaman tangan dikala datang susah maupun senang, dapat mendatangkan hujan kebahagiaan bagi yang menjalaninya.

Tetapi masalahnya, bisakah masing-masing kita tetap teguh pada komitmen awal? Bisakah kita tetap tersenyum pada pasangan kita kala kelelahan datang membekap? Atau sebaliknya bisakah kita tetap memeluk pasangan kita? kala pasangan kita hadir tanpa senyum atau tanpa sepatah kata pun?

Kekecewaan yang bertumpuk, karena pengharapan yang berlebihan pada pasangan kita, ternyata dapat menjadi bumerang bagi rencana-rencana indah perkawinan kita.
Tentu kita tidak ingin perkawinan menjadi guillotine bagi diri sendiri. Kita ingin perkawinan menjadi ladang ibadah yang panennya berupa berkah yang tiada habisnya.

Memegang teguh komitmen awal, ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan pasangan, memiliki stok maaf yang tak terhitung, dan terutama meniatkan perkawinan kita sebagai ibadah kepada Yang Maha Kuasa, Insya Allah akan menjadikan perkawinan sebagai lautan berkah, sebagai surga dunia yang sudah selayaknya diperjuangkan.

Jika kulit wajah sudah dipenuhi kerutan di sana sini dan tak lagi licin, tetapi kita – suami dan isteri – masih bisa bergenggaman tangan dengan penuh cinta kasih, sudah selayaknya kita bersujud syukur atas segala keindahan itu…..